Sunday, April 21, 2013

Budaya Arab, Budaya yang Sangat Dicintai Rakyat Amerika Hingga Jawa


Oleh: Helmi Junaidi




Selama ini ada sebagian orang di Indonesia yang ingin membuat Islam sepenuhnya berwajah Indonesia, yakni dengan cara membuang segala apa yang mereka anggap sebagai budaya Arab. Akan tetapi, mereka seringkali menerapkannya dengan salah kaprah. Pokoknya, semua hal yang tidak mereka setujui langsung dicap sebagai budaya Arab. Padahal, tentu tidak selalu demikian halnya. Jadi, saya menilainya sebagai sikap yang ceroboh dan asal stempel. Entah kenapa mereka menjadi sangat anti dengan apa yang mereka sebut sebagai budaya Arab. Padahal, mereka selalu menonjolkan dirinya sebagai penganut pluralisme, dan itu artinya adalah menghormati dan menghargai semua budaya yang ada. Tetapi, kenyataan di lapangan adalah mereka tidak inklusif kepada semua budaya yang ada. Seperti misalnya contoh yang sangat menyolok adalah hal berikut. Misalnya saja kata lu gue = bahasa China, brother sister, atau gaulnya bro and sis = bahasa Inggris mereka halalkan. Banyak digunakan di sinetron dan oleh host acara-cara di tv, tak ada yang protes. Tapi kalau ada yang sampai menggunakan akhi dan ukhti langsung dicela, diolok-olok dan diharamkan. Aneh, bukan? Ini pluralis ataukah rasis?

Saya khawatir ini bukanlah pluralisme. Tapi, rasisme terselubung yang dibungkus kata indah pluralisme. Bagaikan serigala berbulu domba, yakni serigala rasis berbulu pluralis. Dan nanti mungkin saja bisa merambah ke berbagai hal lain yang berbau Arab, hingga bisa-bisa huruf Arab dan bahasa Arab nanti diharamkan. Dan alasannya lagi-lagi nanti adalah inklusifisme dan pluralisme. Padahal, faktanya itu rasisme anti Arab dan Islamophobi yang disponsori oleh pihak-pihak asing yang anti Islam dengan biaya jutaan dolar. Kalau umat Islam nanti betul-betul dilarang shalat dan mengaji dalam huruf Arab, kemudian al-Quran disuruh tulis dalam huruf Latin saja lalu apakah itu masih bisa disebut agama Islam? Tidak. Itu bukan agama Islam lagi. Oleh karena itu, saya berpendapat bahwa kampanye anti budaya Arab yang selama ini digalakkan oleh JIL (Jaringan Islam Liberal) dan rekan-rekan sealirannya tersebut memang ditujukan untuk merusak agama Islam.

Problemnya adalah bila pihak-pihak yang anti budaya Arab tersebut memang benar-benar bermaksud membuang budaya Arab, maka akan banyak sekali ilmu dan budaya yang turut terbuang, bahkan apa yang selama ini kita anggap sebagai asli budaya Jawa dan Eropa. Sebagai contoh adalah rebab. Instrumen ini masih termasuk budaya Arab. Nama aslinya adalah rabab, setelah masuk Indonesia disebut rebab, di Eropa disebut rebec, yang lalu lambat laun ber-evolusi menjadi beragam alat gesek, antara lain adalah biola. Jadi, biola di Eropa itu adalah hasil pengaruh budaya Arab juga. Apakah hendak kita buang budaya Arab yang satu ini? Wah, Paganini, Mozart, Stradivarius dan kawan-kawan akan marah besar. Sedangkan kalau di Jawa, semenjak zaman dahulu kala rebab telah menjadi bagian integral dari musik gamelan. Apa rebab hendak kita singkirkan juga? Wah, giliran pak dalang yang nanti akan marah besar.

Okay, di sini saya akan memberikan kutipan dari tiga sumber tentang biola dan leluhurnya yang berasal dari budaya Arab, yaitu rebec. Pertama dari Encarta, kedua dari Britannica dan ketiga dari Wikipedia. Satu lagi referensi yang cukup lengkap bisa Anda baca di The Rebec Project.
1). The viola, which evolved from unstandardized medieval fiddles, is first depicted in early 16th-century pictures. Like most other instruments of the Renaissance, it was built in a range of sizes that, together, made up a consort. Small violas (violins), large ones held between the knees (violoncellos; see Cello), and even larger ones played standing up (violones) were the specialty of Italian artisans such as the Amati family and Antonio Stradivari. The pochette or kit, a miniature violin-type instrument played by dancing masters, often had a one-piece body and neck carved from a block of wood; it thus resembled the medieval rebec, the name and shape of which were in turn derived from the Middle Eastern rabab. (“Musical Instruments”, Microsoft Encarta Encyclopedia 2002).

2). Rebec: bowed, stringed musical instrument of European medieval and early Renaissance music. It was originally called a rubebe, developed about the 11th century from the similar Arab rabāb, and was carried to Spain with Muslim culture. ("rebec." Encyclopædia Britannica. Encyclopaedia Britannica Ultimate Reference Suite. Chicago: Encyclopædia Britannica, 2010).

The word lira, a misapplication of lyra, the ancient Greek lyre played with a plectrum, had appeared by the 9th century for the Byzantine form of the Arab rabāb, the ancestor of all European bowed instruments. ("lira." Encyclopædia Britannica. Encyclopaedia Britannica Ultimate Reference Suite. Chicago: Encyclopædia Britannica, 2010).

3). The rebec (sometimes rebecha, rebeckha, and originally various other spellings, pronounced /ˈriːbɛk/ or /ˈrɛbɛk/) is a bowed string musical instrument. In its most common form, it has a narrow boat-shaped body and 1-5 strings and is played on the arm or under the chin, like a violin. It is also an ancestor of the violin.

The instrument did remain in use by dance masters until the 18th century, however, often being used for the same purpose as the kit, a small pocket-sized violin. The rebec also continued to be used in folk music, especially in eastern Europe and Spain. Andalusi nubah, a genre of music from North Africa, often includes the rebec. (Rebec - Wikipedia, the free encyclopedia).
Demikian tentang asal-usul biola dan berbagai alat gesek lainnya yang ternyata berasal dari budaya Arab.

Satu lagi hasil budaya Arab yang dulu juga sangat populer di Eropa adalah lute, berasal dari instrumen Arab al-'ud. Para komposer terkenal di Eropa banyak yang menciptakan komposisi untuk lute, termasuk Johann Sebastian Bach. Bila di Eropa disebut lute, maka setelah masuk ke Indonesia disebut gambus, yang juga sangat populer di sini. Setelah saya jelaskan begini tentunya Anda menjadi paham kenapa orkes gambus dan kasidah itu selalu menyertakan biola di dalamnya. Karena itu memang termasuk budaya Arab. Mengingat bahwa pengaruh Islam di Eropa itu dulu masuk melalui Spanyol, maka tentunya bukan suatu kebetulan pula bahwa salah satu varian dari lute, yaitu gitar, berasal dari Spanyol, sehingga kita saat ini mengenal istilah gitar Spanyol.

Komposisi lagu yang diperuntukkan bagi lute memang bisa juga dimainkan dengan gitar, hal ini tentu menunjukkan bahwa keduanya bersaudara dekat. Salah satu contohnya bisa Anda lihat di youtube, di mana sebuah karya komposer besar Johann Sebastian Bach untuk lute, yaitu Prelude from Lute Suite no. 4 dimainkan dengan gitar oleh John Williams, dan lokasi pertunjukkannya di istana Alhambra, Spanyol. Dan kita tentu sudah tahu bagaimana keindahan istana Alhambra, hasil budaya Arab tersebut. Silakan Anda tonton video di link tersebut.

Jadi, sulit sekali bila kita bermaksud membuang budaya Arab. Karena komposer sekelas J.S. Bach dan kawan-kawan juga adalah para pecinta al-'ud dan hasil karya mereka masih dimainkan para musisi klasik di seluruh dunia hingga saat ini. Karena banyak orang yang tak tahu hal ini akhirnya mereka menjadi anti dengan budaya Arab. Akibat kurangnya pengetahuan mereka saja.

Bahkan, instrumen musik country yang selama ini dianggap tulen mencerminkan budaya pedesaan Amerika, yaitu banjo, ternyata juga adalah budaya Arab. Dibawa oleh orang-orang kulit hitam yang turut ketangkap pedagang budak dan lalu dijual ke perkebunan di Selatan. Instrumen leluhur banjo di Afrika Barat memang termasuk dalam kategori varian lute alias al-ud. Lihat sejarah banjo antara lain di website Banjo Ancestors. Di situ antara lain disebutkan:
It's worth noting that the griot phenomenon is not now nor has it ever been as widespread as once thought. As stated earlier, it is actually confined to specific Muslim peoples in only a few West African countries-- primarily Mali, Senegal, Gambia and Guinea, the heartlands of the griot tradition-- and, to a lesser extant, among the extended branches of those peoples in neighboring countries like Burkina Faso, Niger, and Guinea Bissau, where the traditional caste distinctions have waned.
Griot itu adalah sebutan untuk pemain lute tradisional di negara-negara yang tersebut di atas. Jadi, suku-suku Afrika Barat yang punya tradisi instrumen leluhur banjo tersebut cuma mereka yang beragama Islam. Andai alat tersebut asli Afrika Barat atau berasal dari budaya antik non Islam seperti Mesir kuno atau lainnya, tentu instrumen tersebut sudah ada di sana sebelum Islam dan sudah turut diadopsi oleh semua suku di Afrika Barat, baik yang Muslim maupun yang non Muslim. Tapi, faktanya tradisi tersebut cuma terdapat pada suku-suku yang menganut Islam saja.

Pengaruh Arab Islam memang telah hadir berabad lamanya di Afrika Barat sebelum kedatangan bangsa kulit putih. Memang bukan murni Arab kalau yang berkunjung ke Afrika Barat, tetapi bangsa blasteran Arab-Berber yang biasanya disebut sebagai bangsa Moor, sama dengan bangsa yang menguasai Spanyol berabad lampau. Negara asal banjo tersebut, yakni Senegal, Gambia dan Guinea, penduduknya memang mayoritas Islam. Senegal 92%, Gambia 90% sedangkan Guinea 85%. Guinea Bissau juga sering disebut karena penduduk muslimnya cukup siknifikan 35%, lainnya animis. Tapi, negara yang terbesar di ujung Barat adalah Senegal (Gambia dan Guinea Bissau cuma negara secuil saja) sehingga sebagian orang lebih suka mengaitkan banjo dengan Senegal. Kalau Guinea posisinya sedikit masuk ke Timur walau juga negara yang cukup besar. Di youtube juga ada pertunjukkan musik banjo yang berjudul From Senegal to Seeger. Bisa Anda tonton. Yang terakhir itu nama pemusik Banjo di Amerika. Pada keterangan singkat pertunjukkan itu antara lain disebutkan.
Protest, passion, politics, poetry – the banjo is the voice of the people, and ‘From Senegal to Seeger’ unshackles that voice. ‘From Senegal to Seeger’ is a journey into Americana — a social and political portrait of America through the eyes of the banjo.

In this 90 minute tour-de-force Michael plays music that spans 300 years and charts the transformation of the banjo from an African instrument to the quintessential expression of the American voice. (From Senegal to Seeger - Stories of the American Banjo).
Jadi, kalau kita melihat para koboi yang sedang berdansa diiringi biola dan banjo, maka mereka itu sebenarnya sedang asyik menikmati budaya Arab. Bisa marah para koboi itu kalau ada yang ngeyel tetap mau membuang budaya Arab, you bisa langsung kena darderdor nanti.





Btw, memang tak salah juga bila kemudian Cassius Clay mengubah namanya menjadi Muhammad Ali. Demikian juga Karim Abdul Jabbar dan lain-lain. Karena banyak di antara orang-orang hitam itu yang leluhurnya beragama Islam, yakni mereka yang membawa banjo tersebut ke benua Amerika. Sedang kalau Malcolm X cukup menghapus namanya belakangnya, disebut X saja, memutuskan hubungan dengan nama pemberian majikannya pada zaman perbudakan dulu.

Kalau dalam bidang sains, sumbangsih orang Arab Islam antara lain adalah pada bidang matematika, yakni ilmu yang sekarang kita kenal dengan aljabar dan algoritma (algorithm), yang menjadi pelajaran wajib di seluruh dunia. Kalau aljabar tentu semua orang tahu. Nah, kalau algoritma ini adalah ilmu yang digunakan untuk membuat flowchart dalam ilmu komputer. Itu karya ilmuwan Islam. Tanpa algoritma takkan ada ilmu komputer. Memang agak kurang tepat kalau yang ini disebut hasil karya orang Arab karena sang ilmuwannya yakni Al-Khwarizmi adalah etnik Persia, tepatnya dari daerah Khwarizm di provinsi Khurasan, yang sekarang ini menjadi bagian dari Uzbekistan. Jadi, mungkin lebih tepat bila disebut budaya Islam. Islam Sunni, bukan Syiah karena bangsa Persia itu menganut Syiah masih baru-baru saja, sejak abad keenambelas saja. Walau etnik Persia, tetapi Al-Khwarizmi memang hidup dalam suasana budaya Arab. Ia lahir pada masa Harun Ar-Rasyied, sang khalifah dari dinasti Abbasiyah yang legendaris itu. Saat masih kecil ia bersama orangtuanya pindah ke Baghdad, Irak, yang tentu saja masih termasuk wilayah Arab. Setelah dewasa ia kemudian mengabdi di istana Khalifah Al-Makmun, putra dari Harun Ar-Rasyied. Ia menulis semua karyanya dalam bahasa Arab, bahasa resmi di wilayah kekuasaan dinasti Abbasiyah. Yang memperkenalkan angka Hindu-Arab ke benua Eropa, sehingga kemudian lebih populer disebut sebagai angka Arab, adalah orang Arab juga. Angka Arab (Arabic Numeral) ya 1,2,3...dst ini, angka yang dipergunakan dalam matematika modern. Matematika modern tidak menggunakan angka Romawi. Wah, itu impossible. Ahli matematika yang terkenal lainnya adalah Omar Khayyam, walau sekarang lebih terkenal sebagai penyair. Dan tentu masih banyak lagi yang lainnya. Boleh anda browsing sendiri.


Orang Eropa Barat dulu juga belajar filsafat Yunani tidak ke negara Yunani, sudah lama bubar itu akademi di Athena. Juga tidak ke Roma, karena sudah lama bubar juga. Eropa Barat dulu belajar filsafat Yunani, matematika dan beragam sains lainnya ke para profesor Arab, terutama di universitas-universitas Arab-Spanyol.

Islamic contributions to Medieval Europe were numerous, affecting such varied areas as art, architecture, medicine, agriculture, music, language, and technology. From the 11th to 13th centuries, Europe absorbed knowledge from the Islamic civilization. Of particular importance was the rediscovery of the ancient classic texts, most notably the work of the Greek natural philosopher Aristotle, through retranslations from Arabic.

During the 11th and 12th centuries, many Christian scholars travelled to Muslim lands to learn sciences. Notable examples include, Leonardo Fibonacci, Adelard of Bath and Constantine the African. Also, from the 11th to the 14th centuries, numerous European students attended Muslim centers of higher learning (which the author calls "universities") to study medicine, philosophy, mathematics, cosmography and other subjects. (“Islamic contributions to Medieval Europe”, Wikipedia).
Setelah selesai belajar, para sarjana Eropa itu pun pulang kembali ke negerinya dengan membawa serta budaya dan ilmu pengetahuan yang telah mereka pelajari di tanah Arab. Dan tak lama kemudian Eropa pun mengalami zaman Renaisans. Renaisans mustahil terjadi tanpa transfer ilmu dari para profesor Arab itu kepada murid-muridnya yang berasal dari Eropa Barat. Selain wikipedia, semua buku sejarah juga menyatakan hal yang sama, bahwa Eropa Barat dulu memang belajar filsafat Yunani, matematika dan beragam sains lainnya dari para profesor Arab. Boleh silakan baca berbagai sumber lainnya. Monggo, bebas saja. Tak ada yang ditutup-tutupi. Bebas untuk mencari sumber informasi sendiri tentang hal ini.


Orang Arab sendiri masih tetap merasa superior atas Eropa hingga zaman Napoleon. Pada saat Napoleon berhasil menaklukkan Mesir, barulah orang Arab tersadar atas kemajuan iptek yang telah dicapai Eropa. Sebelumnya mereka menyangka Eropa masih tetap terbelakang seperti zaman Perang Salib dan menganggap rendah Eropa. Baru setelah masa Napoleon itulah orang Arab mulai merasa perlu belajar dari Eropa.

Bila dirunut lebih jauh ke belakang lagi, sebagian dari budaya dan ilmu pengetahuan Arab-Islam itu memang telah ada sebelumnya, berasal dari wilayah-wilayah lain, baik dari Persia, India, Babilonia, Mesir, Yunani, Asia Tengah dan lain-lain. Akan tetapi, ilmuwan dan seniman Arab-Islamlah yang kemudian mengembangkan, menyempurnakan dan sekaligus menyebarkannya ke seluruh dunia, baik ke Barat maupun ke Timur. Mulai dari pesisir Atlantik Eropa Barat dan Afrika Barat hingga ke lautan Pasifik. Dan tentu saja di sepanjang ribuan mil jalur sutra. Sebelum era dominasi barat sekarang, budaya yang mendominasi dunia sekitar seribu tahun lamanya memang budaya Arab. Jangka waktu yang sangat lama. Jadi, jangan heran bila budaya Arab sekarang tetap mengakar di mana-mana, di seluruh dunia. Pada saat itu orang-orang Arab menjelajah kemana-mana dengan membawa serta budaya dan ilmu pengetahuannya. Hal ini tentu berbeda dengan budaya Greco-Roman yang cuma terbatas pengaruhnya di wilayah Laut Tengah saja. Orang Yunani dan Romawi tak pernah pergi ke pedalaman sub-Sahara, juga tak pernah menjelajahi Jalur Sutra, apalagi berlayar ke Pasifik.

Jadi, memang akan sulit sekali bukan bila kita bermaksud menyingkirkan semua hasil budaya Arab? Sudah begitu merasuk dan menyebar ke mana-mana di seluruh penjuru dunia, baik Barat maupun Timur, sehingga seringkali dilupakan asal-usulnya dan disangka sebagai hasil budaya lokal, seperti misalnya disini rebab dan kebaya (dari bahasa Arab abaya). Kebaya yang aslinya busana Arab itu setelah dimodifikasi lalu sekarang menjadi busana nasional yang bahkan juga dipakai oleh wanita Indonesia non Muslim. Kalau di Yogya kita sering menyaksikan ibu-ibu pada hari Minggu pagi berbusana kebaya rapi pergi ke gereja. Sedangkan kalau di Bali kita tentu sudah tahu bahwa ibu-ibu di sana juga pergi ke pura dengan mengenakan kebaya. Dan kebaya itu ternyata adalah berasal dari budaya Arab. Demikian pula nama-nama hari mulai Senin sampai Sabtu juga berasal dari bahasa Arab. Budaya Arab lainnya, dan kalau ini sangat digemari oleh kalangan Islam tradisional di Indonesia adalah dibaan. Sudah sangat melekat dan dianggap sebagai budaya lokal juga. Kan senang juga orang kalau ikut dibaan. Berkumpul ramai-ramai dan "menyanyi" koor ramai-ramai. Bisa menghibur hati dan jiwa.

Sebenarnya, dalam kasus pro kontra budaya Arab ini memang terjadi kerancuan. Believe it or not, mereka yang suka berapi-api anti budaya Arab itu umumnya malah mati-matian membela budaya Arab juga. Dibaan itu kan asli budaya Arab. Benar, kan? Termasuk juga barzanji dan burdah. Itu budaya Arab. Toh, mereka bela habis-habisan karena dikira sebagai budaya asli tradisional Indonesia, padahal itu budaya asli tradisional orang Arab. Isi syair dibaan dan burdahan itu yang antara lain sering dilagukan Haddad Alwi itu. Banyak diantaranya yang diambil dari dibaan dan burdahan. Dan semuanya itu memang budaya Arab karena para penyairnya berasal dari Arab. Bagaimana dengan tahlilan? Sama saja alias idem. Punyusun doa-doa tahlil adalah warga Semenanjung Arabia juga, yakni Sayyid Abdullah bin Alwi al-Haddad. Gelar sayyid di depan nama itu sama artinya dengan habib. Susunan yang masih asli dan belum ada modifikasinya disebut sebagai Ratib Al-Haddad dan acaranya disebut ratiban. Meski demikian, isi doa-doanya tak jauh berbeda.

Jadi, memang ada kesalahpahaman besar-besaran di sini. Budaya Arab tahlilan dan dibaan dibela habis-habisan oleh Jil dan rekan-rekannya dengan anggapan bahwa itu adalah budaya tradisional asli Indonesia. Lucu memang, orang-orang yang anti budaya Arab malah sangat gigih membela budaya Arab. Mirip dagelan Srimulat jadinya. Padahal, mereka banyak yang pendidikannya S2 atau S3, tapi membahas soal begini ngaco semua.

Orang Salafi, Muhammadiyah dan lainnya mengharamkan budaya Arab dibaan, barzanji dan burdahan tersebut. Menuduhnya sebagai bidah. Tapi, mereka yang anti budaya Arab dibaan dan burdahan justru sering dituduh sebagai pembela budaya Arab. Lho, yang mengharamkan budaya Arab malah dituduh sebagai pembela budaya Arab? Bingung, nih. Yang betul yang mana? Yah, kedua pihak sebetulnya sama-sama giatnya membela budaya Arab, hanya saja berbeda barang yang dibelanya. Satu pihak, seperti aliran Salafi dan sejenisnya gigih membela budaya Arab jenggot dan sorban, pihak satunya giat membela budaya Arab dibaan, barzanji dan burdahan. Ada yang berani melarang tahlilan, burdahan dan dibaan? Dijamin mengamuk.

Di Yogyakarta dan sekitarnya yang Muhammadiyah memang tak pernah ada acara dibaan, barzanji dan burdahan di kampung-kampung. Bidah dan syirik katanya. Dan tentu saja haram. Seperti misalnya di artikel Ya Robi bil Musthofa... Shalawat Burdah Bid'ah Syirik.

Nah, pihak lainnya mengharamkan budaya Arab jubah, jenggot dan sorban, juga ucapan dan salam yang mereka anggap berbau Arab, seperti misalnya akhi, ukhti, ikhwan yang mereka olok-olok dan haramkan. Mudah-mudahan bukan karena syirik juga.

Saling mengharamkan satu sama lain. Padahal semuanya itu sama-sama budaya Arab. Kalau posisi saya bagaimana? Yah, seperti biasanya posisi saya "liberal" saja. Boleh sajalah semuanya. Mengapa sih mesti saling melarang dan mencela satu sama lain? Toh, semuanya itu sama-sama budaya Arabnya. Nah, enakan menjadi orang "liberal" seperti saya, kan? Semuanya bebas merdeka. Asal jangan melakukan molimo saja..

Bila ingin tahu lebih lanjut lagi tentang sumbangan budaya Arab kepada budaya dunia, silakan browsing internet sendiri saja. Barangkali mereka yang anti budaya Arab itu menyangka bahwa budaya Arab itu hanyalah berupa sorban dan jubah. Salah besar saudara-saudara, dan kiranya Anda masih perlu belajar lebih banyak lagi tentang budaya Arab. Bahkan dibaan dan burdahan, juga rebab dan kebaya, turut dilupakan kalau itu budaya Arab. Dan sudah dianggap budaya tradisional atau nasional Indonesia.

Bagaimana kemudian dengan budaya asli Indonesia, apakah suatu saat kelak akan mampu mempengaruhi perkembangan budaya dunia seperti budaya Arab? Semuanya tergantung kepada para pelaku budaya di sini. Indonesia sebenarnya punya potensi yang sangat besar pada bidang seni dan budaya, hanya saja umumnya orang sini kurang punya percaya diri untuk tampil secara global. Biasanya sudah minder dan mundur duluan bila berhadapan dengan seniman dan musisi Barat. Ini yang harus dihilangkan. Dan dari semuanya, yang paling sial adalah mereka yang kerjanya cuma mencaci maki budaya Arab, tapi mereka sendiri tak pernah memberikan sumbangan apa-apa kepada perkembangan budaya dunia, apalagi sains di tingkat dunia. Dan sejak dulu sampai sekarang kerjanya cuma jadi jago kandang yang nyinyir saja.

Dari semua penjelasan di atas lalu apakah saya ingin mengarabkan Indonesia? Itu anggapan yang salah karena saya orang yang pro dengan semua budaya, asal itu budaya yang baik-baik saja. Semua budaya baik dari Barat maupun Timur saya suka saja. Ada sekitar dua ribu lagu mp3 di hape saya, berisi segala jenis musik mulai dari klasik, jazz, pop, dangdut sampai campursari ada di playlist hape saya. Apa perlu saya tampilkan screenshot-nya juga sebagai bukti? Untuk lebih jelasnya tentang pandangan saya mengenai beragam budaya asing tersebut lihat penjelasan dibawah tentang akulturasi budaya. Yang membuat saya heran dan lalu menulis artikel ini adalah kenapa ada sebagian pihak yang bilang diri mereka pluralis, tapi gemar mencac maki budaya Arab Itu hal yang aneh dan rasis sehingga lalu saya menulis artikel ini. Saya juga ada kekhawatiran itu akan bisa berlanjut hingga sampai mengharamkan huruf Arab dan bahasa Arab di dalam bidang ibadah dan keagamaan. Apakah ini kekhawatiran yang mengada-ada? Tidak. Karena memang dulu pernah terjadi di Turki. Dan bila trend anti budaya Arab seperti yang digalakkan itu tidak kita tanggapi, maka bisa saja hal yang sama terjadi lagi. Orang lama-lama akan mengkampanyekan azan dan shalat dalam bahasa Indonesia, Sunda atau Jawa. Bisa makin kacau. Padahal, urusan ibadah dan budaya tak usah dicampuradukkan. Bila anda mau menyanyi campursari, pakailah bahasa Jawa, menyanyi pop bisa pakai bahasa Indonesia, tapi kalau mengaji dan azan tentu saja wajib memakai bahasa Arab. Jangan mencampuradukkan urusan ibadah dan budaya, itu bidang yang sama sekali berbeda.


Akulturasi Budaya

Dulu saya pernah ditanya tentang derasnya budaya asing yang masuk ke Indonesia oleh seorang dosen ISI (Institut Seni Indonesia) Yogyakarta, teman sekampus kakak saya. Itu yang kampusnya sekarang di Sewon, Bantul. Karena itu saya jadi lumayan tahu juga sejarah asal-usul alat-alat musik klasik karena dulu kadang iseng-iseng ikut membaca buku-buku pelajaran mereka. Yang tidak menjadi seniman cuma saya saja. Hobinya cuma menjadi penonton setia.

Nah, setelah berpikir sejenak lalu saya jawab pak dosen tadi bahwa hal itu memang tak terhindarkan. Baik pada zaman dulu maupun sekarang. Akan tetapi, sejalan dengan waktu, maka akan terjadi proses akulturasi, yakni perpaduan antara budaya lokal dan asing. Tanpa disadari, sejalan dengan waktu, budaya-budaya asing yang masuk akan diadaptasi dan lama-lama malah kemudian dianggap sebagai budaya milik sendiri. Seperti misalnya keroncong yang asli portugis, tari lenso yang juga dari Portugis, wayang yang asli India, rebab yang asli Arab dan lain-lainnya. Pada saat ini semua budaya asing tersebut sudah dianggap sebagai budaya nasional. Demikian pula agaknya yang akan terjadi pada budaya-budaya yang saat ini masih dianggap sebagai budaya asing. Pada saatnya nanti, itu malah akan semakin memperkaya budaya kita yang sudah ada saat ini.

Sebenarnya, banyak budaya asing yang tanpa sadar sudah kita adaptasi dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan juga dalam hal makanan, seperti misalnya bakso, tahu dan mie pangsit Cina, pizza Italia, martabak India dan sebagainya. Dalam hal pakaian kita tahu bahwa pakaian kita sehari-hari semuanya berasal dari budaya asing, seperti celana panjang, kemeja, kaos, celana dalam, topi dan juga pakaian resmi kenegaraan. Toh, tak ada yang protes tentang hal ini dan hendak melarang orang pakai celana dan kemeja. Sudah dianggap sebagai hal yang lumrah dan wajar saja.

Sejalan dengan waktu, kadang suatu jenis budaya asing yang dianggap sangat “berbahaya” dan ofensif, dianggap mengancam generasi muda dan sebagainya seperti misalnya musik rock, ternyata tak bisa bertahan lama. Tak bisa bertahan berabad-abad sebagaimana wayang dan keroncong misalnya. Padahal, hingga tahun 80-an, di tembok-tembok dan di jalan-jalan, di stiker, bangku sekolah, atau buku pelajaran sering terdapat kalimat “Rock Will Never Die”, dan pada saat itu sepertinya memang demikian karena sangat populernya. Dimana-mana terdapat grafiti logo grup Hellowen, Metallica, Scorpion, GnR, Rush, Van Halen, leletan lidah Mick Jagger dan sebagainya. Pokoknya, pada masa itu telinga orang-orang tua jadi pada merana. Para guru juga sering tak cukup berbekal buku, tapi juga membawa gunting ke sekolah untuk merazia rambut gondrong para siswa. Akan tetapi, boleh dikatakan sekarang ini “Rock Nearly Die”.

Memasuki pertengahan 90-an, poster-poster kaum gondrong yang serem itu sudah mulai diturunkan dan diganti oleh boys band yang dipelopori oleh NKOTB dan sejenisnya, itu grup anak-anak manis yang tampil clean-cut ala anak gedongan. Atau digantikan musik grunge ala Nirvana. Bahkan personil Metallica pun lalu memotong pendek rambutnya, lagunya juga menjadi lebih kalem, untuk menyesuaikan diri dengan selera pasar yang mulai berubah, yang sudah mulai jenuh dengan musik rock dan mencari musik alternatif. Boleh dikatakan remaja tahun 1980-an dan awal 1990-an adalah generasi terakhir yang menyaksikan musik rock masih menjadi musik mainstream. Setelah generasi zaman itu berlalu, musik rock pun agaknya akan turut berlalu pula, tinggallah rock menjadi musik nostagia zaman lawas saja. Selanjutnya digantikan dengan generasi musik korea dan gangnam style misalnya, walau seperti halnya musik rock mungkin akan seumur jagung juga usia trendinya. Setelah itu akan lewat dan digantikan genre musik lainnya.

Jadi, kenapa harus takut dengan serbuan budaya asing? Itu pikiran yang terlalu sempit. Apalagi, tak mesti semua bisa bertahan lama. Budaya asing yang bisa bertahan hingga sekarang pun malah sudah dilupakan asal-usulnya dan dianggap sebagai budaya lokal, bahkan ikut memperkaya kebudayaan lokal seperti wayang, rebab dan keroncong. Oleh karena itu, saya sejak dulu menentang puritanisme/wahabisme budaya yang ingin menyingkirkan segala budaya asing. Lha, makanan yang kita santap sehari-hari pun aslinya adalah hasil budidaya dari negeri asing kok, termasuk singkong (dari Amerika Selatan), nasi (Asia daratan) dan jagung (Amerika Selatan). Bukan asli makanan sini. Dan tentu saja roti dan supermie, jelas bukan asli sini, bahannya saja dari gandum yang tidak pernah ditanam di Indonesia. Toh, orang-orang sini, bahkan yang sangat anti budaya asing pun suka melahap segala makanan asing tersebut. Tidak konsekuen. Bahkan makanan asli sini, yakni sagu sudah ditinggalkan sama sekali, kecuali di Indonesia bagian Timur. Tapi, semua makanan asing tersebut sekarang sudah dianggap makanan tradisional sehari-hari, bahkan memperkaya menu makanan lokal. So, kenapa mesti takut dengan serbuan budaya asing. Asal itu yang bisa membawa manfaat saja dan tidak bersifat merusak. Pada saatnya nanti budaya-budaya yang sekarang masih dianggap asing tersebut akan menjadi bagian dari budaya nasional yang perlu dilestarikan juga.

(Boleh share dan copas asal dicantumkan sumbernya).

18 November 2010